DRD Berikan Solusi Baru
Anies berharap para anggota DRD bisa memberikan inovasi dan terobosan bagi Pemprov DKI. Hal itu agar warga DKI bisa merasakan hasil tugas anggota DRD
Image is not available
previous arrow
next arrow
Slider

ARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi DKI Jakarta menggelar dua kali Focus Group Discussion (FGD) terkait layanan publik di Jakarta. 

FGD yang digelar  25 Agustus dan 1 September itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari berbagai kelompok masyarakat terkait pelayanan publik. FGD dibuka Ketua Dewan Riset Daerah DKI Jakarta Prof Kemas Ridwan Kurniawan Ph.D.  

Informasi itu akan menjadi bagian dari policy brief  yang akan diusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diharapkan bisa dipakai rujukan dalam membuat kebijakan.

Para nara sumber pada FGD yang pertama antara lain dari forum RT/RW, perwakilan organisasi profesi, perwakilan konsumen, dan unsur pemerintah/organisasi perangkat daerah (OPD) yang sekaligus menanggapi keluhan/pengaduan yang muncul dalam FGD.

Eman Sulaeman, Ketua Panitia FGD yang juga Sekretaris Komisi I DRD DKI, Rabu (1/9) menyampaikan resume pandangan para nara sumber pada FGD pertama. 

1. Ikatan Notaris Indonesia DKI Jakarta 

Pengurus Ikatan Notaris DKI Jakarta diwakili dua orang, yaitu Maruli dan Merry menyampaikan keluhan seputar layanan online dalam e-BPTHB (digital) yang ternyata lebih lama dibandingkan layanan offline (manual). Secara umum Pelayanan Publik  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih kurang konsisten.

Hal ini dirasakan  dari pelayanan dalam melakukan pekerjaan UP3D terkait BPHTB.  Dalam proses validasi, seringkali  muncul  kesulitan terkait waktu penyelesaian  Hal ini menghambat dan tidak bisa melakukan balik nama, BPN dan layanan lainnya.  Layanan online eBPHTB sudah tersedia, namun membutuhkan prosedur yang lebih lama dari offline  pada proses validasi yang membutuhkan waktu beberapa hari.

Pada tingkat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) nomor telepon online (pengaduan) yang disediakan tidak bisa dihubungi. Di samping itu, perpanjangan sertifikat HGB di tanah milik Pemerintah Prov DKI diminta uang pemasukan yang sangat besar.

2. Perwakilan Masyarakat Penghuni dan Pemilik Rumah Susun Indonesia atau APERSSI

Nara sumber dari  APERSSI megatakan, koordinasi penyelenggaraan rumah susun diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)  12 tahun 2021 sudah memiliki Pergub namun  belum ada Perda, sehingga pergub tersebut belum dapat dilaksanakan.

Sosialisasi peraturan perundang-undangan, pemberian bimbingan, pengawasan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian pengembangan, pengembangan sistem dan layanan informasi, pemberdayaan pemangku kepentingan dirasa masih kurang.

Rumah susun termasuk di dalamnya apartemen memiliki banyak permasalahan. Mulai dari perencanaan, pemasaran, pembangunan, penjualan, sertifikat laik fungsi, dokumen kepemilikan, peralihan hak melalui akta jual beli, hingga pengelolaan pada masa transisis, pembentukan APERSSI.

Di samping itu, masyarakat  belum memiliki  pemahamanan soal hak dan kewajiban di rumah susun atau apartemern, seperti tentang SHGB belum tertangani dengan baik, sampai aturan yang berlaku dan segala hal yang berkaitan dengan rumah susun.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga belum memberikan sosialisasi dan perlindungan terhadap  hak-hak pemilik dan penghuni rumah susun.

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta

Nara sumber dari  BPSK  DKI Jakarta, Yohanes L Tobing,  mengatakan,  BPSK DKI Jakarta adalah salah satu bentuk layanan  dari Pemprov DKI Jakarta  terkait konsumen.  Setiap konsumen yang dirugikan dengan cepat, sederhana dan murah dapat mengadukan permasalahan kepada BPSK. 

Tahun 2020 terdapat 140 sengketa  konsumen di DKI Jakarta yang berhasil ditangani oleh  BPSK

Tugas dan wewenang dari BPSK belum dikenal atau belum disosialiisasikan  dengan baik kepada unsur pemerintah dan masyarakat, yang berdampak pada biaya operasional.  

4. Forum Komunikasi Pengurur RT dan RW DKI Jakarta

Muhammad Irsyad, Ketua Forum Komunikasi Pengurus RT dan RW  DKI Jakarta, mengatakan, warga di  Jakarta terdiri atas tiga kelompok, yaitu warga eksklusif, biasa, dan  marginal.

Tidak semuanya warga dari kelas tersebut puas atas pelayanan publik yang diberikan Pemprov DKI Jakarta.

Permasalahan terkait layanan publik di Jakarta, dalam pandangan forum RT/RW antara lain:

Pertama, Masyarakat belum memahami dokumen untuk mengurus perizinan.

Terkait masalah tanah, warga  dalam hal  mengurus kepemilikan bangunan dan tanahnya, sering kali dari notaris tidak mengonfirmasi kembali ke RT dan RW. Persoalan lainnya adalah soal penyelesaian waris. Seringkali warga mempunya surat keterangan waris namun secara hukum tidak mempunyai kewenangan ahli waris.

Pemerintah perlu melakukan onovasi pelayanan. Namun tidak dijelaskan Pelayanan di bidang apa yang perlu ditingkatkan inovasinya.

Pada FGD kedua yang dilaksanakan 1 September, nara sumber antara lain dari Kadinda DKI Jakarta,  Ombudsman  perwakilan DKI Jakarta,  pengurus YLKI,  pakar pelayanan publik/guru besar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia Prof Eko Prasojo, dan perwakilan pemerintah. 

1. Layanan Publik Prima Merupakan Hak Sipil WN

Tulus Setiawan, mewakili Kepala Bappeda DKI, mengatakan bahwa pelayanan publik di Pemprov DKI telah mendapat penilaian prima (A) oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara  dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).  

"Kendati demikian, peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi hal yang harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Penyelenggaraan pelayanan publik juga perlu mengadopsi ide-ide pembaruan atau inovasi yang adaptif terhadap perkembangan serta kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan dalam penyelenggaraan pemerintahan di masa mendatang.

Menurut Kepala Bappeda DKI, merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,  pelayanan publik yang prima merupakan kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara (WN).

"Dalam RPJMD 2017-2022 dimana dalam visi termuat filosofi harapan Jakarta yang maju, yang bermakna Jakarta menjadi lebih baik atau berkembang. Hal ini menunjukkan adanya upaya mencapai tingkat yang lebih baik dari sebelumnya, terutama dicirikan oleh semakin meningkatnya kualitas pelayanan publik dan meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat," katanya.

2. Mal Layanan Publik Sunset Policy

Prof Eko Prasojo mengatakan, dalam relasi warga Negara dan Negara, setelah warga memberikan legitimasi, maka kewajiban Negara untuk memberikan accountability, leadershio, dan services. Services dimaksud dalam bentuk pelayanan (publik).

Terkait layanan publik di DKI Jakarta, terutama dengan adanya Mal Pelayanan Publik yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan, dalam pandangan Eko Prasojo, itu adalah kebijakan yang sudah usang dan tidak sesuai dengan tuntutan layanan era digital.

“Mal Pelayanan Publik itu sunses policy, sudah usang. Sekarang orang tak perlu lagi datang dan berkumpul untuk memperoleh layanan, tetapi semua difasilitasi oleh teknologi digital,” katanya.

Dia menyebut, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia saat ini kebanyakan adalah generasi digital atau generasi milenial. Berdasarkan data, ASN berusia di atas 55 tahun (baby boomers) sebanyak 18.9 [ersen. Sisanya adalah generasi internet (milenial) yang terdiri atas generasi Z 1,69 persen, generasi Y 29,33 persen, dan generasi X 50,08 persen).

Prof Eko Prasojo mengatakan, peran dan tangggung jawab pemerintah dalam pelayanan publik dikelompok menjadi lima perspektif. Pertama perspektif tradisional  yang membuat dan melaksanakan pelayanan publik, menjamin pelayanan publik, dan mengawal kegagalan pasar.

Kedua perspektif New Public Management yang menjadikan pemerintah sebagai fasilitator yang menciptakan nilai publik serta menggunakan mekanisme pasar.

Ketiga perspektif Public Choice yaitu institusi yang berperan mengembangkan kepemimpinan pribadi (self interest) dan pengambilan keputusan baik secara monolitik maupun struktur komposit.

Keempat perspektif New Institutional Economic, yaitu sebagai jaringan untuk mewujudkan good governance dengan mengurangi perilaku oportunis. Kelima adalah perspektif Network Governance yaitu mencegah terjadinya kegagalan pasar dan kegagalan Negara serta sebagai katalis jaringan antara sector public, swasta, dan masyarakat.

Dalam pandangan Prof Eko Prasojo, pemanfaatan teknologi di Pemprov DKI sudah meningkatkan layanan publik, dengan berbagai aplikasi yang sudah diciptakan, baik antarpemerintah maupun antarpemerintah dan masyarakat.

Nilai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) DKI Jakarta yang diberikan Kementrian PAN dan RW adalah 3,23 (kategori baik). “Nilai 3,3 sudah baik, tapi masih jauh dari angka 5. Sekarang juga sudah berubah dari e-government menjadi digital governance,” ujar Prasojo.

Governance 4.0 (digital govovernance) memiliki lima karakteristik. Pertama Flexible Working Arrangements dengan ciri flexible workspace (co-working space, teleworking), flexible work schedule (flexi time) dan squad team.  Kedua Super Application dengan ciri single digital government platform dan perlu ada Perspres SPBE dan RUU Pemerintahan Digital.

Ketiga Capacity Building dengan ciri digital competency bagi ASN dan nonclassical learning. Keempat Tata Kerja bercirikan rekayasa proses bisnis (IT lead reform), penyederhanaan struktur (network model) dan E-services (smart services). Kelima Talent Management dengan ciri system karier terbuka nasional (open career system) dan perlu ada manajemen talenta nasional.

Prasojo juga menyoroti beberapa penyebab inovasi atau reformasi yang sering gagal antara lain penyebabnya adalah masalah budaya (culture) yang tidak berubah. Pemerintah tidak berusaha membangun satu budaya baru menyesuaikan dengan perubahan lingkungan (teknologi).

 “Inovasi sering gagal karena terlalu banyak perencanaan, banyak analisis, banyak kepatuhan, tetapi minim nilai dan budaya baru, pemahaman dan makna baru, serta kebaikan baru bagi masyarakat,” kata Prasojo.

3. Kadinda DKI: Tata Kelola Layanan Berbeda-beda

Narsum dari Kamar Dagang dan Industri Daerah DKI Jakarta (Kadinda DKI Jakarta), Ir Akhmad Syarbini, menyoroti masih berbeda-bedanya standar atau tata kelola layanan di tingkat bawah, terutama tingkat kelurahan dan kecamatan. “Penafsiran staf atau kepala PTSP di lapangan tidak sama,” katanya.

Selain itu, kata Syarbini, penyelenggara layanan juga kurang peka dalam merespon keluhan pemohon layanan/masyarakat. Juga belum sejalan antara motto dan visi dengan tindakan penyelenggara layanan masyarakat.

“Penguasaan penyelenggara layanan akan perkembangan dunia usaha juga masih perlu ditingkatkan,” katanya. “Kata PTSP pelayanan minim complain, tetapi di lapangan ternyata banyak complain.”

“Pelayanan di DKI,  masih banyak yang belum dirasakan secara optimal. Contoh, bikin usaha jasa konstruksi, masih beda pandang soal zonasi dan kantor. Usaha jasa konstruksi itu konsultan, tak ada hiruk pikuk kegiatan sehingga tidak perlu di zonasi khusus.  Begitu juga izin tambahan yang tak diperlukan juga ternyata masih ada,” kata Syarbini.

Ke depan, layanan public di DKI Jakarta harus benar-benar berbasis digital sesuai dengan perkembangan lingkungan dan teknologi.

4. Pengaduan Layanan Publik di Jakarta Masih Banyak

Teguh P Nugroho, Kepala Perwakilan Ombudsman di DKI Jakarta, mengatakan, jumlah pengaduan terkait layanan publik di Jakarta masih cukup banyak. Tahun 2020 ada 407 aduan terkait layanan publik. Jumlah ini memang menurun dibandingkan tahun 2019.  Bisa jadi karena pandemi sehingga warga malas mengadu secara langsung.

“Laporan di DKI kebanyakan masalah perizinan.  Bisa jadi karena transisi dari manual ke digital. Banyak warga yang belum paham, sehingga banyak yang melapor,” katanya.

Ombudsman juga menyoroti masih terjadinya egosektoran antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di DKI Jakarta serta masih minimnya inovasi di sejumlah OPD.

Meski demikian, dia mengapresiasi layanan digital yang telah dilakukan empat OPD pada masa pandemi, yaitu Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Penanaman Modal dan PTSP, serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Sumber Berita : Tribinnews