DRD Berikan Solusi Baru
Anies berharap para anggota DRD bisa memberikan inovasi dan terobosan bagi Pemprov DKI. Hal itu agar warga DKI bisa merasakan hasil tugas anggota DRD
Image is not available
previous arrow
next arrow
Slider

Sudah kodratnya air berada di dataran rendah. Konflik kepentingan ruang antara manusia dengan air terjadi ketika ruang milik air “diokupasi” oleh manusia dengan dalih tuntutan kebutuhan kependudukan. Persoalan muncul ketika air kembali untuk menempati ruangnya saat musim penghujan. Ironisnya, air yang sebenarnya adalah korban justru sebaliknya dituding sebagai penyebab musibah. Ruang-ruang air di darat di banyak tempat, telah menjadi sumber konflik kepentingan ruang antara manusia dan air. Dalam kasus semacam ini, ruang untuk air selalu dikalahkan demi kepentingan manusia. Peningkatan ruang terbangun menyebabkan pengurangan ruang terbuka terutama di daerah perkotaan. Banyak lahan hijau, situ-situ, daerah resapan dan tempat tinggal air telah hilang.

Jakarta, kota seluas 661,5 kilometer persegi, angka kepadatan penduduknya mencapai 16.704 jiwa per kilometer persegi. Angka kepadatan penduduk DKI Jakarta itu 118 kali lipat dari angka rata-rata nasional yang hanya 141 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2019 mencapai 11.063.324 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sebesar 0,92 persen. Pertambahan penduduk akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan air, yang memicu ketidakseimbangan antara permintaan dengan ketersediaan.

Waterfront Landscape

Dalam RTRW Jakarta 2030, dicanangkan target peningkatan Ruang Terbuka Biru (RTB) pada 2030 seluas paling sedikit 5 persen dari luas wilayah. RTB sendiri merupakan lanskap badan air yang berbentuk aliran sungai, kanal, danau, waduk, embung, situ, empang, kolam atau balong. Terdapat 55 waduk/situ yang terletak di berbagai wilayah Jakarta dengan total luas 2,74 kilometer persegi atau sekitar 0,42 persen luas wilayah Jakarta, luasan yang sangat kurang sekali. Bandingkan dengan Singapura (negara seluas 752 kilometer persegi) yang mempunyai RTB seluas 7,5 persen.

RTB sesungguhnya bukan menjadi pelengkap dalam suatu perencanaan, tapi zona wajib dalam membentuk atmosfer ekologis dalam suatu wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air (sumber air baku), media untuk pendinginan udara kota, tempat konservasi keanekaragaman hayati, produksi perikanan air tawar, pemasok air irigasi pertanian, pembangkit listrik, sarana transportasi, serta memberi keindahan pemandangan yang berpotensi sebagai tempat wisata. Selain itu, bisa memanfaatkan pengembangan RTB sebagai pengendali banjir ditengah semakin menyempitnya daerah resapan air. Bahkan integrasi antara RTB dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dilakukan dengan pemanfaatan rekayasa keilmuan dan pemanfaatan lahan yang baik.

Simak bagaimana negara lain melakukan kegiatan konservasi airnya. Singapura misalnya, dua pertiga dari wilayahnya dijadikan sebagai daerah tangkapan air. Sebagian besar air hujan yang jatuh di Singapura dialirkan melalui selokan, kanal, sungai dan kolam ke 17 waduk untuk penyimpanan, dan kemudian diolah menjadi air minum. Untuk mencegah kontaminasi, air kotor dikumpulkan di sistem pembuangan limbah bawah tanah yang terpisah. Lalu Thailand, masyarakatnya secara tradisional mengumpulkan air hujan dan menggunakannya secara eksklusif untuk minum dan memasak. Orang disana lebih suka air hujan dari pada air lainnya. Mereka menyimpan air hujan dalam volume yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air selama musim kering yang berlangsung hingga enam bulan, dengan demikian masyarakatnya memiliki akses air bersih disepanjang tahun.

Sekarang tengok keadaan sungai-sungai di Jakarta. Meskipun dianugerahi dengan banyak sungai, 13 sungai alam dan 4 sungai buatan, tetapi perhatian terhadap daerah aliran sungai masih kurang sekali. Paradigma pembangunan kota selama ini dominan berorientasi di darat, menempatkan sungai hanya sebagai halaman belakang saja. Nyaris tidak ada permukiman penduduk dekat sungai yang menghadap ke sungai. Kondisi tersebut secara tidak langsung memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Sungai kemudian dipandang sebagai kawasan yang tidak bernilai ekonomi, sehingga tidak perlu ditata dan dibersihkan. Sempadan sungai yang seharusnya bebas dari hunian, prakteknya banyak dilanggar. Ciliwung misalnya, sepanjang bantarannya dipenuhi banyak sekali hunian, diokupasi sejak lama, mudah ditemui mulai dari kawasan Bogor, Depok, hingga Jakarta.

Radical Re-thinking dalam Pengelolaan Air

Pengujian terhadap kualitas air sungai dan waduk di Jakarta dari waktu ke waktu selalu menunjukkan adanya pencemaran dari limbah domestik. Sementara, ketergantungan Jakarta terhadap pasokan air bersih dari luar Jakarta tinggi sekali, hanya sungai Krukut dan Cengkareng Drain yang digunakan untuk memasok kebutuhan 5,7 persen air bersih warga Jakarta sisanya sebesar 94,3 persen dipasok dari waduk Jatiluhur, Instalasi Pengolahan Air (IPA) Serpong dan IPA Cikokol. Itupun baru melayani 60 persen warga Jakarta, 40 persen sisanya memperoleh akses air bersih dari pedagang air atau eksploitasi air tanah.

Padahal, ada sungai yang mengalirkan airnya, ada waduk yang menyimpankan airnya, ada hujan yang mengirimkan airnya langsung ke rumah warga, tetapi anugerah yang banyak tersebut masih sedikit sekali dimanfaatkan. Idealnya, daerah-daerah tangkapan air itu dikembalikan fungsinya. Kompleksitas masalah menyebabkan penambahan RTB sulit dilakukan. Karena itu, perlu radical re-thinking untuk mendapatkan sumber air alternatif lainnya, seperti ekstraksi air dari udara misalnya. Diketahui, bahwa di udara (atmosfer) terdapat air yang dapat berbentuk uap air, kabut, awan yang ketika jatuh ke bumi menjadi hujan. Ditaksir sumber air yang terdapat di atmosfer ada sebanyak 12.900 kilometer kubik, jauh lebih banyak dari seluruh volume air sungai (2.120 kilometer kubik).

Sinergitas Kebijakan Pengelolaan Air

Hujan akan terus datang kembali setiap tahun. Karena itu, disamping upaya untuk mengembalikan dan menambah RTB, perlu kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap hunian harus menyediakan RainWater Harvesting di dalamnya. Jakarta perlu menambahkan satu regulasi lagi tentang penyediaan penampungan air hujan di setiap hunian untuk melengkapi produk hukum yang sudah ada.

Untuk tempat-tempat  yang tidak mempunyai roof catchment, atau ketika musim kemarau panjang, Atmospheric Water Generator dapat menjadi pilihan bagi pemenuhan kebutuhan akan air. Banyak pilihan teknologi mulai dari yang simpel skala rumah tangga sampai yang advance skala industri yang bisa diaplikasikan. Integrasi dengan teknologi energi terbarukan sebagai pembangkit listriknya akan menjadi solusi yang tepat bagi tempat yang belum memiliki akses listrik dan akses air.

Sinergitas berbagai pihak disyaratkan untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan, mulai dari pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, berikutnya peneliti sebagai pelaksana kajian ilmiah, lalu unsur bisnis yang berperan sebagai enabler, kemudian komunitas yang berperan sebagai akselerator, serta media massa yang berperan untuk membangkitkan perhatian, memprovokasi aksi konstruktif. Bukan tidak mungkin, jika hal-hal seperti ini dapat diimplementasikan secara masif, pengeluaran pemerintah untuk penyediaan air bersih menjadi semakin efisien karena masyarakat berperan aktif dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

Tersedia dalam 2 versi:
1) untuk smartphone, dengan tampilan per satu halaman, download di: (v-Smartphone)
dan,
2) untuk laptop, dengan tampilan per dua halaman, download di: (v-Laptop)